Namanya
Masjid Raya Sultan Riau. Orang biasa memanggilnya dengan Masjid Pulau
Penyengat. Ada juga yang menyebut Masjid Putih Telur. Nama Penyengat
karena lokasi masjid tersebut memang berada di sebuah pulau kecil di
Riau, pulau Penyengat.
Menuju lokasi masjid ini cukup mudah dan menarik. Dari Batam,
perjalanan dilakukan dengan menaiki kapal penyeberangan feri menuju
Tanjungpinang. Lama perjalanan sekitar satu jam.
Dari
Tanjungpinang, perjalanan diteruskan dengan menaiki perahu kecil yang
bernama Pompong menuju pulau Penyengat. Di sini, pengunjung bisa
menikmati keindahan laut kepulauan Riau.
Sekitar lima belas menit, kubah masjid Penyengat mulai terlihat
jelas. Suatu pemandangan yang memadukan antara keindahan alam dengan
ketinggian religiusitas lingkungan sekitar. Akhirnya, tampaklah masjid
itu dengan utuh.
Warna kuning tampak dominan. Ada 13 kubah di masjid itu yang
susunannya bervariasi. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing
memiliki ketinggian sekitar 19 meter, dan bubung yang dimiliki masjid
tersebut sebanyak 17 buah. Angka ini diartikan sebagai jumlah rakaat
shalat.
Masjid yang tercatat dalam sejarah sebagai merupakan satu-satunya
peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih ada ini berukuran sekitar 54
x 32 meter. Ukuran bangunan induknya sekitar 29 x 19 meter.
Keindahan
arsitektur masjid sangat unik. Masjid ini bergaya India berkaitan
dengan tukang-tukang dalam membuat bangunan utamanya adalah orang-orang
India yang didatangkan dari Singapura.
Sejarahnya, pada tahun 1805 Sultan Mahmud menghadiahkan pulau
Penyengat kepada isterinya Puteri Raja Hamidah. Bersamaan dengan itu,
dibangun Masjid Sultan. Cuma waktu itu, masjid hanya terbuat dari kayu.
Kemudian, keturunan kerajaan setelah itu, Raja Ja'far membangun
Penyengat sekaligus memperlebar masjidnya.
Pembangunan masjid secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul
Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844)
menggantikan Raja Ja'far. Tak lama setelah memegang jabatan itu, pada 1
Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu, setelah usai
shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk bergotong royong membangun
masjid.
Dalam gotong royong itulah, masyarakat membawa berbagai perbekalan.
Termasuk telur. Karena berlimpah, banyak putih telur yang tidak habis
dimakan. Dan oleh pekerja, putih telur itu dijadikan campuran adukan.
Menurut mereka, dengan campuran putih telur, bangunan akan lebih kokoh
dan tahan lama.
Dari situlah, masyarakat sekitar juga menyebut masjid penyengat ini dengan masjid putih telur.
Selain bangunan yang indah, masjid Penyengat menyimpan mushaf Alquran
tulisan tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk.
Mushaf ini ditulis oleh putera Riau yang dikirim belajar ke Turki pada
tahun 1867. Namanya, Abdurrahman Istambul.
Ada
Alquran tulis tangan lain yang ada di masjid. Namun, tak diperlihatkan
kepada umum karena khawatir sudah terlalu rentan. Ditulis pada tahun
1752. Uniknya, di bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini
terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran. Bahkan, terdapat
berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu, kata per kata di atas tulisan
ayat-ayat tersebut. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua
lemari di sayap kanan depan masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar